Dijelaskan dalam buku SEKILAS SEJARAH KESULTANAN BULUNGAN DARI MASA KE MASA
yang ditulis oleh: H.S. Ali Amin Bilfaqih, S.Ip. bahwa peristiwa
pembakaran dan penjarahan Kesultanan Bulungan terjadi pada tanggal 23-24 Juli 1964.
Sejumlah kerabat dan keluarga Sultan ditangkap, terbunuh dan dinyatakan
hilang tanpa status. mereka dituduh melakukan gerakan subversif
BULTIKEN (Bulungan-Tidung-Kenyah).
Peristiwa ini terjadi setelah masa
pemerintahan Sultan Maulana Muhammad Jalaluddin berakhir atau setelah
beliau wafat (wafat pada tanggal 21 Desember 1958).
Ketika beliau wafat status Bulungan masih merupakan Daerah Istimewa.
Beliaulah kepala daerah istimewa Bulungan (DIB) yang pertama dan
terakhir karena pada masa selanjutnya dengan Undang Undang Nomor 27
Tahun 1959, status DIB diubah menjadi Daerah Tingkat (Dati) II Bulungan
dan ditetapkan Andi Tjatjo Gelar Datuk Wiharja (1960-1963) sebagai
Bupati yang pertama. Pada masa selanjutnya Andi Tjatjo digantikan oleh:
Damus Managing Frans (1963-1964). Setelah kurang lebih satu tahun beliau
digantikan oleh: E.N. Zakaria Mas Tronojoyo (1964-1965). Kemudian
secara berurutan hingga pejabat Bupati yang ke-11 (pada saat sekarang
ini) adalah Drs. H. Budiman Arifin, M.Si. demikianlah catatan-catatan
yang dihimpun dan ditulis oleh Bagian Humas Sekretariat Kabupaten
Bulungan dalam Profil Kabupaten Bulungan (2008).
Komparasi data-data
tersebut melahirkan analisa logis bahwa sistem pemerintahan kesultanan
di wilayah Bulungan telah berakhir setelah Sultan Maulana Muhammad
Jalaluddin wafat dan selanjutnya terjadilah sebuah tragedi yang
mengenaskan dan tidak berperikemanusiaan itu pada masa transisi antara
Damus Managing Frans dengan Mas Tronojoyo.
Kelanjutan dari peristiwa
tragis itu seorang putra daerah (Iwan Samariansyah) dalam artikelnya
yang ditulis pada sebuah blog ISANDRINESIA DIGEST (2007) memberikan
informasi bahwa pada tanggal 1 Februari 2003 dalam acara Temu Kader
Partai Golkar di lapangan Agathis Tanjung Selor yang dihadiri Akbar
Tanjung, para aktivis dari Kabupaten Bulungan mengajukan gugatan yang
dikenal dengan "Bulungan Menggugat". Mereka meminta agar Akbar Tanjung
sebagai salah satu tokoh nasional mendukung rakyat di Kabupaten Bulungan
menegakkan kebenaran dan keadilan di bumi Tenguyun dalam kaitannya
dengan peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada tahun 1964.
Dua pasal tuntutan mereka adalah:
(1)
Agar pemerintah pusat menyampaikan permohonan maaf kepada ahli waris
Kesultanan Bulungan atas terjadinya pembunuhan terhadap 50 orang
keluarga Sultan Bulungan pada kejadian tahun 1964.
(2) Agar
pemerintah pusat dapat memberikan ganti rugi yang layak atas hancur dan
terbakarnya keraton kesultanan Bulungan serta dirampoknya harta benda
kesultanan yang kini lenyap tak tersisa.
Terkait dengan hal tersebut
sebenarnya Datoe Dissan Maulana dan Datoe Abdul Azis dalam wawancaranya
dengan "Gatra.com" di situs gatracom (tertanggal 19 Desembar 2002) juga
pernah menjelaskan bahwa runtuhnya kerajaan Bulungan, akibat ulah
antek-antek PKI di bawah pimpinan Panglima Kodam Mulawarman, Brigjen TNI
Soeharyo yang membakar dan menjarah isi istana. Bahkan, puluhan kerabat
keraton dibunuh dengan tuduhan akan melakukan makar dan bergabung
dengan Malaysia. Peristiwa subversif itu dikenal dengan "Bultiken"
(Bulungan-Tidung-Kenyah). Puluhan kerabat keraton, serta ratusan rakyat
yang tidak berdosa dibantai oleh serdadu tanpa proses pengadilan, dan
mayatnya dibuang ke laut Tarakan. Bukti bahwa tuduhan makar itu tidak
terbukti adalah adanya surat pernyataan minta maaf dari pasukan
Soeharyo, serta pengembalian harta benda yang dijarah pada era Orde
Baru, namun sebagian benda-benda berharga itu hilang.
Masih dari
situs gatracom dijelaskan bahwa Dt. Dissan Maulana adalah putra ke-10
dari almarhum Sultan Maula Muhammad Jalaluddin. Sedangkah Datoe Abdul
Azis adalah cucu dari almarhum Dt. Mansyur. Paling tidak, keterangan
yang disampaikan oleh mereka memiliki tingkat validasi (keabsahan) yang
tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar